
Pontianak- Mamalia laut yang terjaring oleh nelayan di wilayah perairan Kubu Raya, Kecamatan Padang Tikar, Kalimantan Barat, dipastikan adalah jenis lumba-lumba tanpa sirip atau Finless Porpoise.
Hal ini dibuktikan dengan hasil tes DNA selama tujuh bulan terakhir yang dilakukan Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat bersama WWF Indonesia dan Indonesian Biodiversity Research Centre Universitas Udayana.
“Penemuan ini sangat penting mengingat hewan ini jarang dan datanya tidak banyak,” ujar Albertus Tjiu,Manajer Program WWF Indonesia Kalimantan Barat, dalam rilis yang diterima, Selasa, 8 November 2016 lalu.
Lumba-lumba tanpa sirip termasuk dalam kelompok Cetacean paling kecil. Umumnya berukuran kurang dari dua meter. Mamalia laut lain yang termasuk ke dalam golongan Cetacean adalah paus, lumba-lumba, dan pesut.
“Porpoise berbeda dengan Cetacean lainnya. Hewan ini merupakan hewan pemalu dan bukan hewan akrobatik sehingga jarang terlihat di permukaan, kecuali saat ingin bernapas,” kata dia.
Apabila dibandingkan dengan lumba-lumba, mereka kalah dengan lumba-lumba yang secara umum sangat interaktif. Itu terlihat dari lumba-lumba yang senang melompat tinggi sehingga sering terlihat dekat dengan nelayan dan dapat diamati.
Karena itu, Porpoise sulit diteliti karena minimnya perjumpaan dengan satwa ini di berbagai lokasi di dunia.
Bahkan di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian khusus terhadap spesies ini.
Sehingga, penemuan spesies di wilayah Kubu Raya menambah informasi penting tentang keberadaan dan sebaran spesies lumba-lumba tanpa sirip di Indonesia.
Kepala BKSDA Kalimantan Barat Sustyo Iriyono mengatakan temuan ini patut dibanggakan karena semakin menunjukkan bahwa Kubu Raya menjadi wilayah yang memiliki keragaman spesies tinggi, mulai dari daratan sampai laut. “Sosialisasi kepada masyarakat mengenai keberadaan mamalia laut ini perlu dilakukan sebagai rencana aksi bersama,” kata dia.
Hal ini karena lumba-lumba tanpa sirip masuk dalam kategori hewan yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2016 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999. Selain itu, habitatnya perlu dijaga dan dilindungi agar bisa ditetapkan sebagai Kawasan Ekosistem Esensial. Keberadaan mamalia ini nantinya akan disampaikan dalam acara The 2nd Southeast Asian Marine Mammal Stranding Network Symposium.
Tingginya keanekaragaman hayati di Kubu Raya memerlukan upaya konservasi yang komprehensif. Hal ini dikarenakan sering ditemukan mamalia lainnya, seperti paus yang terdampar pada Oktober lalu di Kecamatan Padang, Tikar, serta temuan pesut hasil survei WWF Indonesia sejak 2011. Hal ini membuktikan bahwa perairan Kubu Raya adalah habitat penting bagi mamalia laut.
WWF Indonesia sejak 2015 telah mendeklarasikan wilayah penting yang memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi di Kubu Raya dengan sebutan Lansekap Kubu. Pengelolaan berbasis lanskap atau bentang alam adalah bagian dari strategi WWF Indonesia untuk menciptakan efektivitas pengelolaan suatu wilayah.
Diketahui juga bahwa sekitar 88 jenis Cetacean yang ada di dunia, 34 di antaranya terdapat di Indonesia, dan tiga di antaranya dapat dijumpai di wilayah perairan Kabupaten Kubu Raya dengan komposisi jenis lengkap.