Retakan besar dan panjang di beting es Larsen C, Antartika, kutub selatan, bertambah drastis dalam sebulan terakhir. Akibatnya, Larsen C terancam kehilangan sekitar 10 persen areanya atau seluas 5.000 kilometer persegi. Pecahnya beting es ini menjadi salah satu disintegrasi terbesar dalam sejarah.
Pertumbuhan rekahan di Larsen C telah diamati dalam 10 tahun terakhir. Saat ini hanya tersisa lapisan es sepanjang 20 kilometer yang mencegah bongkahan besar itu lepas dari Larsen C.
“Retakan itu mendadak bertambah panjang hingga 18 kilometer sepanjang paruh kedua Desember 2016,” kata Profesor Adrian Luckman, kepala tim proyek riset MIDAS, seperti ditulis Livescience, Jumat pekan lalu.
Beting es di Antartika adalah lapisan luas yang mengapung di laut. Lapisan es itu bisa memiliki ketebalan ratusan meter dan menjadi penahan lapisan glasier beku di belakangnya.
Ada enam beting es di Antartika yang luasnya lebih dari 40 ribu kilometer persegi. Luas Larsen C, beting es terbesar keempat di Antartika, mencapai 48.600 kilometer persegi dengan ketebalan hingga 500 meter.
Larsen C adalah pertahanan terakhir glasier beku di daratan Antartika agar tak jatuh ke laut. Jika lapisan es yang luasnya hampir sama dengan Pulau Bali itu lepas dari Larsen C, menurut Luckman, lanskap Semenanjung Antartika bakal berubah total. Peristiwa itu juga bisa memicu keruntuhan yang lebih masif lagi pada lapisan es di bagian utara Antartika.
Martin O’Leary, peneliti dari Universitas Swansea, Inggris, mengatakan pecahnya beting es Larsen C bisa membuat kawasan itu tak stabil. “Jika lapisan itu kolaps, tak ada yang menahan glasier lagi dan es bisa mengalir ke laut lebih cepat,” katanya.
Kerusakan serupa pernah terjadi di kawasan Larsen B yang relatif stabil selama 10 ribu tahun terakhir. Pada 2002, sebagian area Larsen B seluas 3.250 kilometer persegi dengan ketebalan 200 meter kolaps dan hanyut ke laut. Area Larsen B yang tersisa kini hanya 1.600 kilometer persegi. Adapun kawasan Larsen A sudah mengalami disintegrasi pada 1995.
Menurut O’Leary, seperti ditulis The Guardian, 6 Januari lalu, pembelahan lapisan es merupakan proses alami yang terjadi setiap beberapa dekade. Fenomena ini bisa terjadi tanpa pengaruh perubahan iklim. Masalahnya, disintegrasi lapisan es dalam jumlah besar justru mempercepat melelehnya glasier yang juga dipengaruhi oleh air laut yang menghangat.
Ancaman retakan lapisan Larsen C juga mempengaruhi proyek riset di sana. Badan Survei Antartika Inggris sudah merilis laporan yang menunjukkan bongkahan es besar siap “terbelah” dari Larsen C. “Karena kondisi yang tak menentu di area Larsen C, kami tak bermukim di sana kali ini,” kata Direktur Bidang Sains, David Vaughan.
Bongkahan es alias iceberg yang lepas dan hanyut ke laut, menurut Luckman, tidak serta-merta meningkatkan ketinggian permukaan air laut. Tapi risiko semakin besar jika glasier yang selama ini ditahan beting es luruh ke laut. Jika seluruh es yang ada di Larsen C masuk ke laut, ketinggian permukaan air bisa meningkat hingga 10 sentimeter.
Untungnya, Semenanjung Antartika tidak mengandung es sebanyak di bagian barat dan timur kawasan itu. Potensi kenaikan permukaan air laut jika Larsen C lenyap masih bisa dihitung dalam skala sentimeter.
Para peneliti di proyek MIDAS belum menyatakan adanya relasi keruntuhan Larsen C dengan perubahan iklim. Tapi hasil riset kolaborasi Badan Survei Antartika Inggris Badan Geologi Amerika Serikat tahun lalu menunjukkan Larsen C kehilangan lapisan setebal 4 meter.
Menghangatnya temperatur Semenanjung Antartika berkontribusi terhadap melelehnya es di kawasan itu. Laut yang menghangat juga dinilai membawa dampak besar pada Larsen C.